Sufyan ats Tsauri pernah berkata : “ Siapa
yang ingin melihat orang yang diciptakan dari emas dan misik, hendaklah ia
melihat Al Khalil bin Ahmad.”
Ats Tsauri juga berkata : “ Kami pernah
berkumpul bersama para sastrawan di Makkah, lalu kami membicarakan para ulama.
Kemudian mereka menyanjung dan menyebut keunggulan para ulama di daerah mereka
masing-masing. Sampai tiba giliran mereka menyebut keunggulan Al Khalil, lalu
salah sau dari mereka hanya mengatakan : Al Khalil adalah orang Arab yang
paling cerdas. Dia adalah kunci ilmu dan banknya. “
Muhammad bin Salam mengatakan : “ Aku
pernah mendengar guru-guru kami berkata : Setelah era Sahabat Nabi saw, tidak
ada orang yang lebih cerdas dari Al Khalil di lingkungan Arab. “
Ibnu Hibban menyatakan : “ Dia (Al Khalil)
adalah hamba Allah yang paling sederhana (zuhud) dan baik ibadahnya. “
Yaqut al Hamawi di dalam kitabnya Mu’jamal
Ubada’ menyatakan : “ Dia (Al Khalil) adalah pemimpin para sastrawan
dalam hal keluasan ilmu dan zuhudnya. “
Al Ashbahani mengatakan : “ Filosof negara
Islam, Al Khalil bin Ahmad.
# Siapakah AL KHALIL BIN AHMAD ? #
Pada akhir abad pertama Hijriyah, tepatnya tahun 100 H lahirlah Al
Khalil bin Ahmad Al Farahidi. Semenjak kecil terdidik dalam kebajikan dan
keshalihan. Ia berguru kepada bintang dari para ulama yang cemerlang. Ia tumbuh
sebagai sosok yang berilmu, tekun ibadah jauh dari maksiat dan bertaqwa kepada
Allah. Ia selalu melaksanakan haji dan berjuang di jalan Allah silih berganti
tiap-tiap tahunnya sampai meninggal dunia. Artinya, jika tahun ini ia
menunaikan ibadah haji maka tahun depan ia berjuang di jalan Allah dan
seterusnya. Dan itu semua tidak mengganggu ketekunannya menuntut ilmu. Ia
seorang mujtahid dan peneliti. Tidak ada pintu ilmu yang belum pernah ia
masuki dan tidak ada jalan pemahaman yang belum pernah ia lalui. Ia sangat suka
bangun menjelang subuh untuk mengkaji ilmu dan ia mendapat banyak berkah serta
kemudahan ilmiah dari waktu tersebut. Maka ia mengatakan : ” Kondisi paling
jernih pada pikiran manusia terjadi pada waktu sahur (menjelang Subuh). ”
Ia dikenal memilki pandangan ilmiah yang tajam. Karena ia dapat menangkap
pentingnya spesialisasi ilmu supaya dapat dikuasai secara mmpuni dan membuat
inovasi di dalamnya. Inilah yang membuatnya berkata pada salah satu muridnya :
” kalau kamu ingin mempelajari ilmu untuk dirimu sendiri, maka kumpulkanlah
sedikit-sedikit dari semua disiplin ilmu. Tetapi kalau kamu ingin menjadi orang
nomor satu di bidang ilmu, maka kamu harus menempuh satu jalur ilmu saja.
”
Ia benar-benar mempraktikan kaidah emas ini, yaitu fokus menekuni bidang
ilmu Bahasa Arab. Sehingga ia adalah imam dalam ilmu Nahwu dan maestro dalam
bidang syair-syair Arab. Ia mengambil apa yang pernah ditulis tentang ilmu
nahwu lalu menyeleksinya dan menyempurnakan bab-babnya. Muridnya yang
cerdas yaitu Sibawaih, kemudian menyempurnakan cabang-cabangnya, memperbanyak
dalil-dalilnya dan syahid-syahidnya. Ia menyusun kitab yang akhirnya menjadi
imam bagi kitab-kitab yang ditulis sesudahnya mengenai ilmu nahwu. Al Khalil
sangat menyukai Sibawaih. Ia menyambut Sibawaih dalam majlisnya seraya berkata
: ” selamat datang, wahai pengunjung yang tiak menjemukan ”. Al Khalil
mengajarkan Ilmu Bahasa Arab dari beberapa buku yang ditulisnya dengan tulisan
kecil, sedangkan imu Nahwu ia diktekan dari otaknya. Subhanallah.
Meskipun ia seorang pakar, namun ambisi intelektualnya tidak pernah
berhenti. Ia mulai mencari inovasi baru. Ketika ia menunaikan ibadah haji, di
tengah doa dan airmata jama’ah haji, Al Khalil meminta sesuatu yang lain
daripada yang lain : ” Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar
Engkau berkenan memberiku ilmu yang belum pernah Engkau berikan kepada orang
lain sebelum aku, dan tidak diambil selain dariku ”.
Setelah pulang ke rumahnya di Bashrah, Al halil mulai berfikir untuk
menciptakan ilmu baru. Ia berkeliling di jalan-jalan dan pasar-pasar untuk
mencari inspirasi dan ide baru. Ketika ia memasuki kawasan tukang tembaga yang
membuat beragam wadah dari tembaga, ia mendengar tukang-tukang tersebut
memukuli wadah dengan irama tertentu dan terhitung. Ia berkata dalam hati : ”
Apakah masuk akal bila para tukang tembaga itu memiliki irama dan nada, padahal
mereka buta huruf atau terlihat seperti orang buta huruf, sementara para
penyair di dalam membuat syair-syairnya tidak memiliki nada dan irama tertenu
?”. Kemudian ia mulai berkonsentrasi untuk mengkaji syair Arab untuk mengenali
iramanya dan mengidentifikasi nadanya. Ia menyendiri di dalam rumah, kemudian
mulai mengetuk-ngetuk baskom yang terbuat dari tembaga dengan lidi sambil
berkata : ” Faa’ilun mustaf’ilun fa’uulun” sampai berkali-kali. Saudaranya yang
tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, lantas pergi ke masjid sambil
mengatakan kepada orang-orang bahwa Al Khalil telah gila dan mengajak mereka
masuk ke rumahnya. Ketika ia ditanya perihal kegilaannya, Al Khalil menghampiri
saudaranya seraya bersyair :
” Andai engkau tahu apa yang kuucapkan,
engkau pasti memaklumi aku
Atau engkau tahu apa yang kau
ucapkan, aku pasti menyalahkanmu
Tetapi engkau tidak mengerti
ucapanku, maka engkau menyalahkan aku
Dan aku tahu bahwa engkau tidak
mengerti, maka aku pun memaklumimu. ”
Al Khalil terus mempelajari wazan (nada-nada) syair Arab selama
beberapa waktu tanpa menghiraukan komentar orang. Sampai akhirnya Allah
memberinya taufiq dan ia berhasil menemukan 15 wazan. Ia meyebutnya bahar syair
dan ilmu ini ia sebut Ilmu ’Arudh. Dengan ilmu ini, seorang penyair atau
kritikus syair bisa menilai mana syair yang benar atau salah.
Selain ilmu ini, ia juga menghimpun kosa kata bahasa Arab dalam satu kitab
(kamus) agar orang-orang dapat memahami arti kata-kata yang sulit. Uniknya, ia
menyusun tiap kata bukan berdasarkan urutan huruf hijaiyah sebagaimana kamus
bahasa Arab lainnya melainkan berdasarkan makhraj (tempat keluar)
huruf-huruf hijaiyah tersebut, mlai dari dalam tenggorokan hingga ujung lidah.
Ia memulai dari huruf ’ain yang keluar dari tenggorokan bagian bawah, sehingga
kamus ciptaannya disebut Kitabul ’Ain. Tanpa disadari, ia telah
meletakkan dasar-dasar ilmu bunyi dan ia orang pertama yang membahas
tentang kaidah ilmu Tajwid.
Al Khalil memang prototipe ilmiah untuk ilmuwan inovatif dan pemikir
cerdas. Di Bashrah, ada seorang tabib yang sangat piawai meracik rerumputan
untuk membuat obat mata. Ketika tabib itu meninggal dunia, orang-orang tidak
bisa lagi mendapatkan obatnya dikarenakan mereka tidak menemukan catatan
resepnya. Al Khalil kemudian meminjam wadah yang biasa dipakai untuk meramu
obat mata milik sang tabib dan menciumi sisa-sisa rerumputan yang ada pada
wadah tersebut. Sambil mencium, ia menyebut satu demi satu jenis rerumputan
sampai berjumlah 15 jenis rumput. Ia lalu bertanya pada tabib lain mengenai
dosis dan perbandingannya untuk diramu menjadi obat mata tersebut. Obat
tersebut langsung dibuatnya dan masyarakt merasakan manfaatnya seta
memanfaatkannya seperti sedia kala. Belakangan, mereka menemukan tulisan sang
almarhum tabib yang menyebutkan ramuan obat itu terbuat dari 16 jenis rumput
termasuk 15 jenis yang disebutkan Al Khalil.
Salah satu bukti kecerdasan dan kepintarannya adalah ketika ia sdang
bepergian dan bertemu seorang rahib di dalam sebuah sinagog yang ada di tengah
padang pasir. Saat ia meminta izin untuk memasuki sinagog, ia ditanya oleh sang
rahib mengenai 3 hal. Satu, bagaimana mungkin Allah itu ada sedangkan
kita tidak melihatnya? Kedua, bagaimana bisa manusia akan makan dan
minum di dalam Surga tanpa membuang hajat, sedangkan di dunia hal tersebut
mustahil terjadi. Ketiga, bagaimana bisa kenikmatan Surga tidak akan
habis sedangkan ia tidak pernah melihat sesuatu yang tidak ada habisnya?
Kemudian Al Khalil menjawab :
” Untuk menjawab masalah keberadaan
Allah, aku membuktikannya melalui perbuatan-perbuatan yang menunjukkan keberadaanNya.
Contohnya dapat disimak pada ruh yang ada di dalam tubuh makhluk hidup. Kita
bisa merasakan kehadirannya, padahal tidak pernah tahu di mana letak ruh itu,
bagaimana bentuknya, bagaimana ciri-cirinya dan esensinya. Kita melihat manusia
mati ketika ruh itu keluar, padahal kita tidak merasakan ada yang keluar dari
jasadnya. Tentang penghuni Surga yang tidak membuang hajat, bukankah anda tahu
bahwa janin itu makan di dalam perut ibunya tanpa perlu membuang hajat.
Sedangkan mengenai kenikmatan Surga yang tak ada habisnya, kita menemukan bahwa
kita memulai hitungan dari angka satu dan jika terus menghitungnya maka
hitungannya tak terhingga.”
Kemudian rahib itu membukakan pintu
untuk Al Khalil dan menjamunya dengan baik.
Meskipun sangat cerdas, ia tidak pernah menyombongkan diri kepada orang
lain. Ketika ia sedang berjalan dengan seorang temannya, sandal milik temannya
putus lalu temannya itu menentengnya dan berjalan tanpa alas kaki. Maka Al Khalil pun ikut melepas
sandalnya dan berjalan tanpa alas kaki pula. Ia juga rendah hati kepada
pesaing-pesaingnya. Ketika di bashrah terjadi perdebatan antara dirinya dan Abu
Amr bin Ala’ (gurunya) dan banyak orang yang menyaksikan, ia memilih untuk diam
agar citra gurunya tidak rusak. Ia tidak pernah membalas perbuatan para penguasa yang mencari gara-gara
padanya. Ia tak segan menggeser posisi duduknya dan berbagi alas duduk bersama
muridnya. Ia juga
menegur secara halus kepada muridnya yang daya tangkapnya sangat lambat dalam
mempelajari wazan syair Arab, melalui sebuah syair yang berbunyi :
Kalau kamu tidak bisa menguasai
sesuatu, tinggalkanlah
Dan beralihlah kepada sesuatu yang bisa
kamu kuasai.
Ia pernah mengatakan : ” ada tiga hal yang bisa melupakan musibah :
lewatnya malam, wanita cantik dan bercengkerama dengan orang-orang besar. ”
Ia juga pernah berkata : ” seseorang tidak akan mengetahui
kesalahan gurunya sampai ia berbicara dengan orang lain. ”
Dan ia pernah berpesan kepada salah satu muridnya : ” Amalkanlah ilmuku
dan jangan memandang amalku. Ilmuku akan bermanfaat bagimu tapi keteledoranku
tidak akan merugikanmu. ”
Al Khalil bin Ahmad adalah orang yang paling zuhud, paling baik hati, dan
paling teguh menjaga kehormatan dirinya. Ia hidup hanya dari kebun peninggalan
ayahnya, padahal murid-muridnya mendapat banyak uang dari ilmunya. Ia lebih
memilih Akhirat, sehingga salah seorang muridnya berkata : ” Ilmu dan buku-buku
karya Al Khalil telah dimakan oleh dunia, sementara ia di dalam gubuknya dan
tidak merasakannya. ”
Ia sering melantunkan bait berikut :
Wa idzazftaqarta iladz dzakhaa iri lam
tajid
Dzukhran yakuunu kashaalihil a’mal
( Bila anda membutuhkan tabungan
Tak ada tabungan yang bisa
seperti amal shalih )
Syair-syairnya yang menunjukkan keterikatan hatinya dengan Akhirat antara
lain :
Dan sebelum kamu dokter telah mengobati
pasiennya
Lalu pasiennya hidup, dan dokternya
meninggal dunia
Jadi, bersiaplah menghadapi tempat
kebinasaan
Karena yang akan datang itu sudah dekat
masanya
Ia juga mengatakan :
Ia tidak lain hanyalah malam kemudian
siangnya
Tahun demi tahun dan bulan demi bulan
Kendaraan yang mendekatkan yang baru
menjadi usang
Mendekatkan organ tubuh orang-orang
mulia ke liang kubur
Meninggalkan istri pencemburu
untuk orang lain
Dan membagikan harta yang dimiliki oleh
orang kikir
Dalam doanya, ia selalu mengatakan : ” Ya Allah, jadikanlah aku bagian
dari orang yang paling tinggi derajatnya di sisi-Mu, jadikanlah aku bagian dari
makhluk-Mu yang paling rendah di dalam diriku, dan jadikanlah aku bagian dari
makhluk-Mu yang tengah-tengah di sisi manusia. ”
Di kota Bashrah pada tahun 170 Hijriyah, sebenarnya Al Khalil ingin menciptakan
cara baru yang bisa menyederhanakan ilmu hitung bagi orang awam dan anak-anak
serta dapat diajarkan dengan mudah kepada mereka. Ia memiliki kebiasaan pergi
ke masjid untuk memikirkan masalah-masalah keilmuan. Suatu ketika, ia
mondar-mandir di dalamnya sambil memikirkan inovasinya yang baru dan saking
asyiknya, tiba-tiba ia menabrak salah satu tiang masjid dengan kerasnya. Al
Khalil terjengkang ke belakang dan mengalami gegar otak. Nyawanya melayang di
haribaan masjid yang suci dalam kondisi sibuk memikirkan ilmu yang bermanfaat
bagi orang banyak.
Semoga Allah menyayangi Al Khalil bin Ahmad dan menjadikannya sebagai
bagian dari makhluk yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah. Amin ....
Sumber :
Be a Genius Teacher ( Mendidik dengan Kreatif ) seri 1 karya Abdullah Muhammad Abdul Mu’thi
Cetakan pertama / Juni 2008. Terbitan Pustaka Elba, Surabaya.