Setiap kejadian kecil pun ada hikmahnya …




Tampilkan postingan dengan label psikologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label psikologi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 September 2012

KONSEP ETIKA KOMUNIKASI (bagian 1)


PENGERTIAN ETIKA
               
Etika sebagai salah satu cabang pokok Ilmu Filsafat menelaah dan menyelidiki gejala-gejala yang timbul dalam diri manusia baik sebagai individu mandiri maupun anggota masyarakat, meneliti tingkah laku yang dianggap sebagai cerminan dari apa yang terkandung dalam jiwanya. Terkadang tingkah laku maupun perkataan seseorang belum tentu cerminan dari isi hatinya, sehingga yang menjadi objek etika adalah perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran penuh (implisit hati dan ucapan).

                Menurut William Benton dalam “ Encyclopedia Britannica “, Etika (berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti karakter) adalah studi yang sistematis dari konsep-konsep nilai baik-buruk, benar-salah dan sebagainya atau tentang prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita. Dalam penerapannya disebut juga filsafat kesusilaan atau moral (dari kata Latin mores yang artinya adat istiadat) yang sifatnya praktis.

                Sedangkan menurut Louis O. Kattsoff dalam bukunya Elements of Philosophy, etika adalah cabang aksiologi yang pada pokoknya mempersoalkan tentang predikat baik dan buruk (dalam arti susila atau tidak susila). Juga mempersoalkan sifat-sifat yang menyebabkan seseorang disebut susila atau berbudi. Menurut Kattsoff, definisi etika ditinjau dari pengertiannya dibagi menjadi 3 :

1.    ETIKA DESKRIPTIF
Etika ini berhubungan dengan nilai dan ilmu pengetahuan yang membicarakan baik dan buruk tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Ilmu ini hanya bersifat pemaparan atau penggambaran saja dari corak-corak predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan di masyarakat.

2.    ETIKA NORMATIF
Etika ini mengadakan ukuran-ukuran atau norma-norma umum yang dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai perbuatan dan tingkah laku seseorang dalam masyarakat.

3.    ETIKA KEFILSAFATAN
Etika ini menganalisis tentang apa ‘maksud’ penggunaan predikat-predikat kesusilaan, apa yang disebut perbuatan etis, tidak etis dan sebagainya. Intinya mempersoalkan arti-arti yang dikandung istilah-istilah kesusilaan yang digunakan masyarakat.

Franz Magnis Suseno dalam buku Etika Dasar  menyebut tentang norma yang artinya peraturan atau pedoman hidup bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dan berbuat dalam masyarakat. Norma-norma dapat dibedakan menjadi :

1.    Norma teknis dan permainan
Hanya berlaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu atau untuk kegiatan sementara dan terbatas. Contoh : peraturan olahraga dan peraturan dalam perusahaan.

2.    Norma yang berlaku umum
Dibedakan menjadi :
a.       Norma kepercayaan/ agama
Dasarnya adalah kitab suci yang bertujuan agar manusia beriman. Sanksinya tidak di dunia melainkan di akhirat. Contoh : jangan membunuh.

b.      Norma moral
Berhubungan dnegan manusia sebagai pribadi. Pendukungnya adalah hati nurani manusia. Pelanggaran terhadapnya menyebabkan penyesalan, karena tidak ada kekuasaan dari luar diri yang mengancam. Tujuannya untuk menyempurnakan manusia. Contoh : berbuat jujur.

c.       Norma sopan santun
Didasarkan kebiasaan, kesopanan, kepantasan atau kepatutan yang berlaku dalam masyarakat. Tujuannya untuk kedamaian, ketertiban, keamnana dalam hidup bersama. Sanksinya penghinaan atau pengucilan. Contoh : menghormati orang yang lebih tua.

d.      Norma hukum
Pelaksanaannya dapat dituntut dan dipaksakan. Pelanggarannya ditindak dengan pasti oleh penguasa sah dalam masyarakat. Dasarnya adalah peraturan perundang-undangan. Contoh : Pelarangan penyebaran komunisme di Indonesia sejak Sidang Istimewa MPRS 1966.

               
Sumber :
Filsafat Dan Etika Komunikasi. Sumarno AP,dkk. Jakarta : Universitas Terbuka



Jumat, 21 September 2012

" BELAJARLAH ; KARNA KITA BEGITU BERHARGA (K2B2 bagian 2) "


 




Sumber :
https://www.facebook.com/media/set/?set=a.1202111550127.26628.1748737094&type=3


KONSEPSI MANUSIA


Dalam filsafat dikenal beberapa aliran atau paham mengenai manusia. Menurut pendapat Prof. Drijarkara seperti dikutip oleh Onong Uchjana Effendi dalam bukunya “ Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi “, terdapat beberapa paham mengenai manusia antara lain :

1.         PAHAM MATERIALISME
Paham ini berpendapat bahwa pada prinsipnya manusia hanyalah materi atau benda belaka, walaupun ada kelebihannya dibandingkan benda-benda lainnya.

2.         PAHAM IDEALISME
Paham ini memandang manusia adalah manusia, karena dia berpikir, memiliki ide, dan karena dia sadar akan dirinya. Manusia berpokok pada kesadarannya dan pikirannya yang bebas.
Tokoh aliran ini adalah Descartes yang terkenal dengan prinsipnya “corgito ergo sum” yang artinya “aku berpikir maka aku ada”. Menurutnya, manusia terdiri dari dua zat ; Res Corgitan, zat yang dapat berpikir yang merupakan zat roh, zat yang bebas, tidak terikat hukum alam dan bersifat rohaniah. Lalu Res extensa, zat yang mempunyai luas, merupakan zat materi tidak bebas, terikat dan dikuasai hokum alam.

3.         PAHAM EKSISTENSIALISME
Paham ini berpendapat bahwa manusia tidak saja berada di dunia, tetapi juga menghadapi dunia dan benda-benda lainnya di dunia. Ia juga mengerti arti dari benda-benda yang dihadapinya dan arti dari hidup.

                Selain konsep di atas, ada empat pendekatan yang digunakan pakar psikologi dalam memandang konsepsi manusia :

1.         HOMO VOLENS (manusia berkeinginan)
Manusia sebagai makhluk yang digerakkan keinginan-keinginan terpendam. Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (id), komponen psikologis (ego), dan komponen social (super ego). Id tidak bermoral dan bergerak atas dasar prinsip kesenangan. Ego menjembatani tuntutan Id dengan realitas. Sedangkan Super ego adalah hati nurani yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya. Contoh : ketika Id mendesak agar Anda menyalip kendaraan  di depan Anda yang berjalan amat kencang, ego mengingatkan Anda bahwa tindakan tersebut dapat mencelakakan Anda.

2.         HOMO SAPIENS (manusia berpikir)
Manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimulasi yang diterimanya, berusaha memahami lingkungannya. Menurut Lewin, perilaku adalah hasil interaksi antara diri orang itu dan lingkungan psikologisnya. Manusia memberi makna pada stimuli sesuai pengetahuan dan pengalamannya, sesuai faktor personal dan situasionalnya. Contoh : “Ayah” di mata anak yang beruntung adalah sosok pelindung, teman dan juga contoh teladan. Sedangkan bagi anak yang tidak beruntung bermakna laki-laki yang egois, kasar dan siap memukul.

3.         HOMO MECHANICUS (manusia mesin)
Manusia sebagai makhluk yang digerakkan semaunya atau dipengaruhi oleh lingkungan. Aristoleles berpendapat, pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa seperti meja lilin siap dilukis oleh pengalaman. Jadi seluruh perilaku manusia, kepribadian, pikiran, perasaan dan temperamen disebabkan pengalaman inderawi. Manusia bersifat plastis, mudah dibentuk menjadi apapun oleh lingkungan.

4.         HOMO LUDENS (manusia bermain)
Manusia sebagai makhluk yang aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Pendapat Brouwer yang diikuti Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya yang berjudul “ Psikologi Komunikasi ” menyatakan bahwa setiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri dan alam pengalaman setiap orang berbeda. Bereaksi dengan lingkungan sesuai persepsi tentang dirinya sendiri dan lingkungan. Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan dan mengaktualisasikan dirinya.
                
                Melihat begitu beragamnya konsep tentang manusia, dapat dipastikan tidak mudah melakukan komunikasi antar manusia. Tiap orang akan memiliki perbedaan dalam penyampaian dan penerimaan komunikasinya. Peristiwa yang sama akan ditanggapi berbeda oleh orang berbeda.

                Sebagai contoh, kasus Ariel “Noah” ditanggapi pihak media sebagai hal yang menguntungkan tapi tidak bagi pihak pelaku atau korban, pastinya akan malu dan tak mau berkomentar banyak. Ada pihak yang menghujat, ada pula yang berempati. Namun, tak sedikit yang acuh karena bukan urusannya, seperti kata seorang kuli “ Saya tidak tahu, saya tidak peduli. Saya harus kerja untuk makan “ .

                Dari contoh tersebut, manusia melihat sebuah pesan , peristiwa atau objek dengan seluruh indera yang dimilikinya. Faktor-faktor personal (pendidikan, pengetahuan, pengalaman, sikap, emosi, kebiasaan, kemauan dan lain-lain) dan faktor-faktor situasional (suasana perilaku, teknologi, faktor sosial) akan berpengaruh terhadap perilaku komunikasi seseorang. Oleh sebab itu, dalam hidupnya manusia selalu berpolitik atau mengatur strategi-strategi dalam berinteraksi dengan orang lain untuk mencapai kesamaan dan tujuannya.


Sumber :
Filsafat Dan Etika KOmunikasi, Sumarno AP,dkk. Jakarta : Universitas Terbuka
  

Sabtu, 17 Oktober 2009

Putra-putri kita bukan anak kecil




Kita sering mengatakan kepada putra-putri kita: ” Kamu masih kecil ”. Kalimat itu membuat mereka merasa bahwa mereka tidak bisa berfikir seperti orang dewasa. Akibatnya, mereka selalu bergantung kepada kita dalam segala hal.

Ketika mereka dewasa, jiwa mereka tetap anak kecil. Mereka enggan menjenguk paman yang sakit atau malu-malu jika diajak berdialog dengan kepala sekolah. Mereka juga tidak mampu menyelesaikan masalah kecil yang menimpanya. Demikianlah kalimat yang sepele tadi mencetak generasi yang berusia dewasa tetapi berfikiran kecil dan bertekad lemah. Dan membuat mereka tidak bisa berfikir, berkreasi dan berinovasi.


Dalam dunia pendidikan, salah satu kewajiban kita adalah berhenti menyebut putra-putri kita sebagai anak kecil. Dan realitanya, mereka bukan anak kecil. Sebab, anak berusia 5 tahun saja bisa menjadi perawi hadits, apalagi sekedar menghafalnya.

Menurut jumhur ulama, usia minimal seorang muslim untuk dapat meriwayatkan hadits Nabi saw adalah 5 tahun. Orang-orang shalih telah mengambil pelajaran ini dengan baik. Mereka mengajak anak-anak mereka yang masih kecil untuk belajar hadits pada guru-guru besar. Al Khatib Al Baghdadi menceritakan bahwa Abu Ashim berkata: ” Aku membawa anakku yang berusia 3 tahun kepada Ibnu Juraij. Lalu ia mengajarinya hadits Nabi saw ”. Abu Ashim berkata: ” Tidak apa-apa mengajarkan hadits dan Al Qur’an kepada anak seusia itu ”. Maksudnya, jika ia paham.


Sesungguhnya, putra-putri yang masih kecil mempunyai potensi akal dan fikiran yang bisa membuat mereka menjadi inovator. Kita harus mengikutsertakan mereka dalam pembicaraan kita yang sesuai dengan mereka. Kita juga harus mau menjawab pertanyaan mereka dengan penuh kejujuran dan obyektif, tanpa meremehkan kemampuan akal mereka. Dan kita juga harus menjadi pendengar yang baik bagi pendapat dan ide mereka.

Terkadang anak kecil menyampaikan pendapat atau pertanyaan yang membuat kita berfikir tentang suatu gagasan inovatif yang tidak terfikir oleh kita sebelumnya. Percaya atau tidak, ide pembuatan biskuit yang digunakan sebagai wadah es krim berasal dari celetukan seorang anak : ” Mengapa orang-orang tidak memakan bungkus es krim agar tidak membuang sampah di jalan ? ”. Kira-kira begitu pertanyaannya. Dan gagasan inovatif yang berasal dari anak kecil kadang mampu memecahkan banyak masalah yang kita hadapi. Sekarang, pertanyaan yang muncul : apa media praktis yang dapat kita gunakan untuk membangkitkan mental anak kita ?


Pertama, hendaknya kita mendorong mereka untuk berani berbicara atau mengemukakan pendapat meskipun ia masih muda, bahkan di depan orang yang lebih tua. Karena itu akan menambah semangat, kepercayaan diri dan kecintaannya terhadap ilmu.


Kedua, bersikap ramah dan mengakui akan haknya yang benar. Karena itu akan mendidiknya menjadi orang yang ramah, memperjuangkan haknya dan menghargai hak orang lain.

Ketiga, mengajak mereka menjenguk orang yang sakit. Karena pada periode fitrah usianya, sangat potensial untuk memancarkan suber kebaikan sehingga mereka terdidik menjadi anak yang suka mengasihi, menyayangi, dermawan, murah hati dan merindukan persahabatan serta kerjasama.

 
Keempat, mengajak mereka ke masjid untuk mengikuti shalat berjamaah atau majlis ilmu meskipun nantinya mereka akan membuat keributan dan melakukan gerakan-gerakan khas anak-anak. Karena hal itu akan membuat mereka merasa senang, aman dan tentram serta mendorongnya untuk mencintai masjid dan majlis ilmu.


Kelima, berinteraksi dan mengucapkan salam kepada mereka. Karena kita sedang mendoakan para pemimpin masa depan.  Selain itu juga kita sedang membuka komunikasi dengan mereka sehingga efektif dalam mengembangkan kepribadian mereka.


Keenam, ikutsertakan mereka dengan kegiatan yang melibatkan para inovator, intelektual, orang beradab dan tentu saja orang-orang shalih. Karena itu akan memotivasi mereka untuk berinovasi dan berkreasi.





Kepada ayah yang budiman, ibu yang penyayang, para pendidik (apapun profesi anda dan berapapun usia anda sekarang), mari kita maksimalkan usia potensial yang sedang dimiliki anak-anak kita sekarang. Bersama kita mencetak Inovator yang Rabbani. Kita jadikan diri kita pendidik yang kaya strategi dengan mempelajari tindakan para cendekiawan. Be a Genius Teacher !!!



Sumber :
Al Mu’thi, Abdullah Muhammad Abdu. 2008. Be a genius teacher ( Mendidik dengan Kreatif ) Edisi Indonesia hal 51-65. Surabaya : Pustaka eLBA.