Percaya atau tidak, tapi ini
adalah kisah nyata tentang muslimah tahan banting. Bahasanya agak kurang
intelek, tapi biarlah… Semoga tidak mengurangi maksud saya tuk berbagi dan
merenung.
Ia seorang gadis. Berasal dari
negeri di luar pulau Jawa yang padat, negeri yang terpencil. Hidup berdua
bersama ayahanda tercinta, piatu sejak belia. Ia tidak pernah melawan dan
selalu berusaha menyenangkan hati ayahnya. Dan ayahnya sangat mencintai dan
berusaha melindungi putri satu-satunya ini.
Namun, keharmonisan itu berubah
menjadi teror dan kesedihan. Sang anak yang sedang menginjak remaja tergugah
hatinya akan hidayah yang datang dari Rabb-nya, tanpa ragu mengucap kalimah
syahadat dan meninggalkan keyakinan awalnya, Kristen. Sudah tentu ayahnya marah
besar karena ia termasuk Kristen yang taat. Kasih sayang berubah menjadi
amarah. Tak ada lagi belaian hangat, justru tamparan dan cambukan yang
diberikan ketika mendapatinya diam-diam menunaikan shalat atau saat masih
terbata-bata mengeja huruf hijaiyah. Berulang-ulang, setiap hari, ia masih
menjaga konsistensi. Kadang tersirat di hati, akan melarikan diri. Ia tak mau
mati konyol hanya demi menjaga akidahnya yang berusia dini. Namun, ia tak tega
meninggalkan ayah yang rambutnya telah memutih di sana-sini. Ayah yang
membesarkannya seorang diri tanpa dampingan istri.
Maka, ia memutuskan untuk tetap menjaga akidahnya dengan cara apapun dan tetap pula berada di sisi
ayahnya. Meski derita itu kan terus menyakiti raga, ia berusaha membesarkan
sanubari. Mencoba memahami apa yang dirasakan orang yang ia sayangi. Memupuk
sabar seluas bumi sembari bermunajat demi mengetuk nurani ayah yang amat
dicintai. Dengan harapan, semoga suatu saat sang ayah memperoleh hidayah dari
Illahi. Kemudian bersama-sama menjadi penghuni Jannah yang abadi. Ia masih
berharap hingga kini …
Di lain tempat, ada seorang ibu
muslimah. Kekerasan rumah tangga sudah jadi makanan hariannya. Memiliki anak
empat, bersuamikan penjudi, tidak kemudian membuatnya mengeluh apalagi
menganggap Tuhan tidak adil. Memang, banyak yang sudah menasihatinya untuk
bercerai karena kalau dilihat-lihat hidupnya sangatlah tidak memadai. Kasihan
jika anak-anaknya ikut jadi korban kekerasan suaminya.
Namun, lihatlah kebeningan dan
kelembutan hatinya. Ia tetap bersikukuh untuk mendampingi suaminya. Berharap
kesabaran ini akan membuahkan kesadaran suaminya. Setiap malam selalu ada doa
untuk sang suami, meski setiap siang selalu ada tamparan untuknya. Sayang
sekali, pintu hati yang selalu ia ketuk ternyata terkunci sangat kuat dan
tertutup sangat rapat. Sangat sulit baginya mencari celah, justru sang suami
mengajak berpisah. Tidak sampai diceraikan memang, namun diusir dari rumahnya
sendiri cukup membuat gamang. Masihkah ia bertahan ? Wallahu’alam.
Kekerasan, seringkali terjadi
di sekitar kita. Hati yang tak pernah tersentuh ayat-ayat Illahi telah menyihir
pikiran dan perbuatan menjadi ikut keras. Dan akhirnya hanya akan menimbulkan
kerusakan. Padahal jelas-jelas Allah tidak menyukai kerusakan. Di luar sana,
masih banyak muslimah yang berjuang keras melawan kekerasan dengan berbagai
cara. Semoga selalu ada Allah di hati mereka sebagai tujuan hidup. Sehingga
sekeras apapun hidup yang mereka hadapi, mereka tetap muslimah yang tahan banting.
Banyak yang
bilang bahwa sahabat adalah orang kepercayaan, yang sering menjadi tempat
berbagi suka duka, tangis tawa, bahkan rahasia. Dan memang benar, langgengnya
sebuah hubungan adalah karena kepercayaan. Belum bisa dikatakan sahabat, jika
menyalahgunakan kepercayaan alias berkhianat. Dan belum bisa dikatakan sahabat
jika masih ada keraguan yang menyelinap.
Masih ingat
pembahasan tentang Sahabat Al Qur’an?
Yupz, itulah kita! Yang selalu membaca,
menghafal dan mengamalkan kandungan Al Qur’an. Dan awalnya untuk bisa menjadi
sahabat Al Qur’an, bukankah kita harus percaya padanya? Percaya bahwa Al Qur’an
benar-benar firman Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada
Rasulullah saw. Percaya bahwa ia adalah pedoman hidup dan obat hati bagi
manusia.
Lalu mengapa
masih saja ada yang ragu akan keotentikan Al Quran? Dari umat Islam sendiri
lagi. Bukankah sudah jelas Allah menerangkan dalam firman-Nya : “ Sesungguhnya Kami yang menurunkan
Al-Quran dan Kami-lah pemelihara-pemelihara-Nya”. (TQS. 15: 9) ?
Apakah kita sudah
benar-benar faham bahwa penulisan Al Qur’an itu didasarkan pada hafalan para
Sahabat Nabi saw dan naskah yang ditulis di hadapan Beliau saw ? Wah,
kalau kita tidak percaya pada Al Qur’an berarti kita juga tidak percaya pada
para Sahabat, pada Rasulullah saw dan pada Allah dong !
Musuh Islam saja
tahu, bahwa kunci utama umat Islam adalah Al Qur’an. Petunjuk yang ditinggalkan
Rasulullah saw beserta Sunnah Nabawiyahnya. Dan salah satu target mereka adalah
menjauhkan umat ini dari Sahabatnya (Al Qur’an). Target lainnya yaitu mencecoki
pemikiran kita dengan sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme),
mengadu domba, narkoba, pornografi, dsb.
Dan lihat saja,
hare gene masih banyak yang tidak bisa membaca Al Qur’an padahal jelas-jelas
dia beragama Islam. Kalau kata Upin Ipin: kasian, kasian, kasian ...
Meskipun tidak menafikan, banyak pula
yang bisa membaca Al Qur’an sejak balita bahkan yang buta sekalipun.
Dari
sekian banyak yang bisa baca, ada berapa yang bisa menghafal sebagiannya?
Lumayan, minimal buat bacaan saat shalat.
Lha,kalau
menghafal semuanya? Emmm, bisa dihitung dengan jari.
Terus
yang benar-benar mengamalkannya?
Wallahu ‘alam bish shawwab.
Nah, sekarang kita mesti gimana?
Minimal,
masing-masing dari kita yuk ‘back to
Qur’an’. Kembali menyapa dan berbicara dengan Sahabat kita itu, memperbanyak
waktu dengannya, berdiskusi di siang hari dan begadang di malam hari dengannya.
Jadikan Al Qur’an sebenar-benar sahabat. Agar kita mendapat petunjuk dari Allah
di dunia dan dapat syafa’at dari Al Qur’an tersebut di akhirat kelak. Mau, mau,
mau ?
Tapi jangan lupa sama ibadah lainnya ya,
biar seimbang gitu.
“ Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab kepada mereka yang telah Kami jelaskan berdasarkan pengetahuan Kami, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali Al Qur’an itu. Pada hari datangnya kebenaran Al Qur’an itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu. “ Sesungguhnya telah datang Rasul-Rasul Tuhan kami dengan membawa yang hak ( benar) maka adakah bagi kami pemberi syafa’at yang akan memberi syafa’at bagi kami. Atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia), sehingga kami dapat beramal yang lain dari apa yang pernah kami amalkan? Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan”
(TQS. Al A’raf : 52-53)
Al Qur’anul Karim adalah petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman, yang berpegang teguh padanya, baik dengan cara membaca, menghafal maupun menerapkan hukum-hukumnya dan menjadikannya manhaj hidupnya. Maka Al Qur’an tersebut akan menjadi pemberi syafa’at baginya di Hari Kiamat. Sedangkan bagi orang yang menjauhi Al Qur’an, melupakannya dan enggan mengamalkan hukum-hukumnya, maka tidak ada perlindungan baginya di Hari Kiamat kelak.
Bila mengamati kondisi sekarang, kita akan melihat antusiasme yang besar terhadap Al Qur’an. Tapi masalahnya banyak orang yang tidak menjadikan Al Qur’an sebagai prioritas utama. Mereka lebih mementingkan membekali dirinya dengan ketrampilan bahasa asing atau elektronik daripada Al Qur’an. Lalu bagaimana caranya menerangi rumah kita dengan cahaya Al Qur’an ?
Mushaf di Saku, Simpanan di Hati.
Keberadaannya secara terus menerus akan membuat kita selalu ingat pada Allah, membantu kita memanfaatkan waktu-waktu senggang untuk membaca, menghafal dan merenungkannya. Terutama saat di rumah atau di perjalanan, seperti yang dicontohkan Nabi.
“Sesungguhnya Al Qur’an akan menemui sahabatnya pada Hari Kiamat ketika liang kuburnya terbuka sebagai sosok laki-laki yang tampak lusuh. Lalu Al Qur’an bertanya padanya : ‘Apakah engkau mengenal aku?’, ’Aku tidak mengenalmu’ jawabnya. Lalu Al Qur’an berkata : ‘Aku adalah sahabatmu, Al Qur’an yang telah membuatmu kehausan di hari yang panas dan membuatmu begadang di malam hari. Sesungguhnya tiap-tiap pedagang ada di belakang dagangannya. Dan sesungguhnya pada hari ini engkau ada di belakang semua dagangan. Lalu ia diberi kerajaan dengan tangan kanannya dan keabadian dengan tangan kirinya. Dan di atas kepalanya dipasang mahkota kewibawaan. Lantas kedua orang tuanya diberi sepasang baju setelan yang tidak dapat dinilai dengan dunia. Lalu mereka bertanya: ‘bagaimana kami bias mendapat pakaian seperti ini?’. Mereka dijawab : ‘berkat anak kalian yang hafal Al Qur’an’. Dan sesungguhnya Sahabat Al Qur’an itu kelak pada Hari Kiamat akan dikatakan kepadanya : ‘Bacalah dan naiklah ke atas tingkatan-tingkatan itu. Bacalah sebagaimana kamu membaca di dunia. Karena tempatmu ada pada ayat terakhir yang ada padamu.”
(HR. Ath Thabrani & Ad Darimi)
Jangan jadikan rumah seperti kuburan
Di sebagian rumah sering terjadi kemarahan dan kekesalan secara berlebihan. Solusi terbaik untuk mengatasinya adalah seluruh keluarga berkumpul untuk membaca Al Qur’an. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah ra, ia berkata : Rasululllah saw bersabda : “ Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah; membaca kitab Allah dan mengkajinya di antara mereka, melainkan kedamaian akan turun kepada mereka, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, para Malaikat akan mengelilingi mereka dan Allah akan menyebut mereka di tengah orang-orang yang ada di sisi-Nya.”
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda : “Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibaca surat Al Baqarah tidak akan dimasuki setan.”
Alangkah indahnya bila kita berkumpul bersama keluarga untuk mengkaji tata cara membaca Al Qur’an agar Allah berkenan memandang kita dengan pandangan ridha yang mana setelah itu Dia tidak akan pernah murka kepada kita. Hari Jum'at adalah kesempatan yang baik untuk mengadakan pertemuan keluarga yang bernuansa Qur’ani. Di mana kita bisa berkumpul bersama membaca surat Al Kahfi. Abu Said Al Khudri menyatakan Rasulullah saw bersabda : “ Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, maka ia akan diterangi cahaya di antara dua Jum’at.” (HR. An Nasa’I & Baihaqi)
Mendengarkan agar Khusyuk
Rasulullah suka mendengarkan bacaan Al Qur’an dari orang lain, barangkali supaya mendengarkan Al Qur’an menjadi Sunnah Nabawiyah yang penuh berkah. Atau Beliau saw hendak mengajarkan kepada umat Islam bahwa si pendengar lebih bisa melakukan tadabbur dan tafakkur dibanding si pembaca. Karena si pembaca sibuk dengan bacaannya dan hukum-hukumnya. Marilah kita sediakan waktu khusus untuk mendengarkan Al Qur’an di dalam hidup keluarga kita dengan cara mendengarkan langsung dari seorang Syaikh yang memiliki suara dan bacaan yang bagus atau mendengarkan bacaan seorang qari’ yang mahir melalui kaset atau CD. Hal ini akan memotivasi kita untuk bisa membaca Al Qur’an dengan baik, menguasai tajwidnya dan menghafalkannya.
Lembaga Pengkajian Al Qur’an di Florida pernah mengadakan penelitian yang berhasil membuktikan bahwa mendengarkan dan membaca Al Qur’an dapat memperkuat imunitas seseorang. Penelitian ini dilakukan terhadap 3 kelompok : kelompok pertama Muslim, kelompok kedua non muslim yang faham bahasa Arab, kelompok ketiga non Muslim yang tidak faham bahasa Arab. Pada ketiga kelompok dibacakan ayat-ayat Al Quran dalam waktu tertentu. Hasilnya, mereka menemukan adanya zat-zat antibodi yang keluar semakin banyak bersamaan dengan bacaan Al Qur’an.
Ketika kita berbicara mengenai mendengarkan Al Quran yang dimaksud adalah hadirnya hati, berfikirnya otak dan khusyuknya anggota badan. Sudah seharusnya kita memberikan perhatian yang penuh terhadap firman Allah dan surat-Nya yang ditujukan kepada alam semesta. Hasan bin Ali ra berkata : " Dahulu orang-orang sebelum kamu melihat bahwa Al Quran adalah surat dari Tuhan sehingga mereka selalu merenungkannya di malam hari dan memeriksa keadaannya di siang hari.”
Mengamalkan pada Zaman Lupa
Ketika kita mengamati perilaku umat Islam dalam konteks menghafalkan dan mengamalkan Al Qur’an, kita menemukan 4 golongan :
a.Yang menghafalkan dan mengamalkan Al Qur’an selalu berada di depan
Abu Daud meriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari bahwasanya Rasulullah saw bersabda : “ Sesungguhnya salah satu wujud mengagungkan Allah adalah memuliakan orang beruban yang muslim dan pembawa Al Quran yang tidak berlebihan dan tidak menjauhinya, dan memuliakan penguasa yang adil”.
Yang dimaksud pembawa Al Quran adalah penghafalnya, karena ia membawa beban yang banyak dan berat. Yang dimaksud tidak berlebihan adalah tidak melampaui batas dalam mengamalkannya, tidak mencari-cari makna yang samar dan bias, dan tidak berlebihan dalam tata cara membacanya. Tidak menjauhinya bermaksud tidak meninggalkannya dan tidak berpaling dari hukum bacaannya, penguasaan maknanya dan pengamalan isi kandungannya. Dan balasan bagi mereka adalah mendapat tempat di depan dibanding muslim lainnya. Abdullah bin Umar ra berkata : “ Barangsiapa yang berhasil menghafalkan Al Quran kemudian melihat seseorang mendapat karunia yang lebih baik darinya di dunia, maka ia telah mengecilkan sesuatu yang besar dan membesarkan sesuatu yang kecil.”
Sunnah Nabi mengajarkan agar kita mendahulukan Sahabat Al Quran dalam segala sesuatu yang baik jika terjadi kesamaan kapabilitas. Al Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menggabungkan dua orang korban tewas dalam perang Uhud dalam satu kain kafan. Lalu Beliau bertanya : “ Siapa di antara mereka yang lebih banyak menghafalkan Al QurAn ?”. Setelah diberi isyarat pada salah satunya, Beliau saw menempatkannya di depan di dalam liang lahat. Dan beliau bersabda : “Aku adalah saksi bagi mereka”. Beliau memerintahkan agar mereka dikubur bersama darah mereka, tanpa dishalatkan dan tanpa dimandikan.
Umar bin Khattab ra benar-benar mengerti keutamaan para penghafal Al Qur’an yang mau mengamalkannya. Ia mendekati mereka, mengangkat martabat mereka dan berkonsultasi dengan mereka dalam urusan kekhalifahan. Al Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas ra, ia berkata : “ Dahulu para qari’ adalah peserta majelis dan permusyawaratan Umar, baik tua maupun muda”.
Bagaimana dengan di Negara kita ? Apakah para anggota DPR dan MPR itu telah hafal sebagian isi Al Quran dan mengamalkannya ? Wallahu ‘alam.
Rasulullah saw bersabda : “ Barangsiapa yang membaca Al Quran dan menghafalnya, lalu ia menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, maka dengan itu Allah akan memasukkannya ke dalam Surga dan memberinya hak untuk memberi syafa'at kepada sepuluh orang di antara anggota keluarganya yang semuanya (telah divonis) wajib masuk Neraka.”
Maha Suci Allah, maukah kita menjadi penyelamat bagi anggota keluarga lainnya?
Seorang penghafal Al Quran hendaknya berpegang teguh terhadap etika-etika pembawa Al Quran dalam rangka menghormati Kitab Allah tersebut. Etika itu antara lain :
-Berperilaku sesempurna mungkin
-Berperangai semulia mungkin
-Menjauhkan diri dari apa saja yang dilarang Al Quran
-Terpelihara dari pekerjaan yang hina
-Memiliki jiwa yang mulia
-Tidak tunduk pada iorang-orang yang kejam dan tidak beradab
-Rendah hati pada orang shalih, orang baik dan orang miskin
-Selalu bersikap khusyuk, tenang dan berwibawa.
Umar bin Khattab pernah berkata : Wahai para qori’ sekalian ! Angkatlah kepala kalian ! Karena kalian telah memiliki jalan yang jelas maka berlomba-lombalah di dalam kebajikan. Janganlah kalian menjadi beban bagi orang lain.”
Abdullah bin Mas’ud menyatakan : “ Seharusnya pembawa Al Quran itu diketahui dengan malamnya ketika manusia tidur, dengan siangnya ketika manusia berbuka, dengan tangisnya ketika manusia tertawa, dengan diamnya ketika manusia rebut, dan dengan kekhusyukannya ketika manusia bersikap angkuh. Seharusnya seorang pembawa Al Quran selalu menangis, bersedih, penyantun, bijaksana dan pendiam. Dan tidak sepantasnya seorang pembawa Al Quran menjadi orang yang suka membuat keributan, berteriak-teriak, dan berwatak besi “.
Al Fudhail bin Iyadh menegaskan : “ Pembawa Al Quran adalah pembawa panji Islam. Tidak sepantasnya ia bersenda gurau bersama orang yang suka bersenda gurau, lupa bersama orang yang suka lupa dan bermain-main bersama orang yang suka bermain-main, demi menghormati hak Al Quran”.
b.Yang mengamalkan Al Quran tetapi tidak menghafalnya secara keseluruhan
Menghafalkan ayat-ayat Al Quran secukupnya untuk menunaikan shalat adalah fardhu ‘ain bagi setiap individu, sedangkan menghafal Al Quran secara lengkap adalah fardhu kifayah. Jika di suatu daerah tidak ada orang yang bisa membaca Al Quran, menghafalnya, dan mengajarkannya kepada anak-anak maka mereka semua berdosa. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bisa menggabungkan antara mempelajari Al Quran dan mengajarkannya berarti memberikan kesempurnaan kepada diri sendiri dan orang lain dan menggabungkan antara manfaat yang terbatas (bagi diri sendiri) dan manfaat yang meluas (bagi orang lain). Itulah sebaik-baik manusia.
Para Sahabat Nabi yang mulia benar-benar memahami kaidah fiqhiyah yang penting ini. Sehingga mereka berupaya keras menghafalkan Al Quran menurut kemampuan mereka masing-masing. Tentu saja sebagian ada yang merasa kesulitan. Abdullah bin Umar ra harus berjuang keras selama 8 bulan untuk mempelajari surat Al Baqarah. Umar bin Khattab ra menghafalkan al Baqarah selama 12 tahun dan setelah mengkhatamkannya beliau langsung memotong unta sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala. Sebagian hanya sebatas menghafalkan ayat-ayat Al Quran yang diperlukan dalam shalat saja. Namun mereka dikaruniai Allah kesanggupan untuk mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam AL Quran.
Abdullah bin Mas’ud ra pernah berkata : “ Sesungguhnya kami merasa kesulitan untuk menghafalkan lafadz-lafadz Al Quran tetapi mudah untuk mengamalkannya. Sedangkan generasi sesudah kami mudah menghafalkan Al Quran tetapi sulit mengamalkannya."
Abdullah bin Umar ra menyatakan : “ Dahulu orang yang utama dari Sahabat Rasulullah saw pada generasi awal ini hanya menghafal satu surat atau semisalnya dari Al Quran. Sedangkan generasi akhir dari umat ini pandai membaca Al Quran termasuk anak-anak dan orang buta. Tetapi mereka tidak dikaruniai kemampuan untuk mengamalkannya.”
c.Yang menghafal Al Quran tetapi lalai mengamalkannya
Kini telah tumbuh generasi penghafal Al Quran yang menguasai tajwidnya dengan baik. Akan tetapi ada kelalaian yang sangat berat dalam mengamalkan hukum-hukum dan akhlak-akhlak Al Quran. Ada sebuah harapan akan sebuah kurikulum yang praktis untukmengamalkan ayat-ayat Al Quran yang dihafal anak-anak kita. Dalam hal ini kita dapat meneladani manhaj generasi Salaf yang shalih. Banyak di antara Sahabat Nabi saw yang sepakat bahwa Nabi dahulu mengajarkan mereka per 10 ayat Al Quran. Dan mereka tidak melangkah ke 10 ayat selanjutnya sebelum mempelajari isi kandungannya dan mengamalkannya. Oleh karena itulah mereka membutuhkan waktu yang lama untuk menghafalkannya. Bahkan Anas bin Malik menyatakan : “ Dahulu apabila seseorang berhasil menghafal Al Baqarah dan Ali Imran maka kami menaruh hormat kepadanya.”
Perlu diketahui bahwa Nabi saw menjelaskan makna yang terkandung di dalam Al Quran di samping menjelaskan lafadznya. Karena firman Allah swt : “ Supaya kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. “ (TQS. An Nahl : 44) mencakup makna dan lafdz sekaligus. Mempelajari makna-makna yang terkandung dalam Al Quran merupakan tujuan utama daripada mempelajari lafadznya. Dan itulah yang bisa menambah keimanan. Dikatakan oleh Jundub bin Abdullah, Abdllah bin Umar, dll : “Kami mempelajari iman kemudian mempelajari Al Quran, sehingga iman kami bertambah. Sementara kalian mempelajari Al Quran kemudian mempelajari iman “. Hasan al Bashri mengatakan : “Tidaklah Allah menurunkan sebuah ayat, melainkan Ia ingin hamba-Nya mengetahui dalam konteks apa ayat itu diturunkan dan apa maksudnya.”
d.Yang rumahnya kosong dari Al Quran
Al Hakim dan at Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata Rasulullah saw bersabda : “ Sesungguhya orang yang di dalam dirinya tidak ada sedikitpun dari Al Quran seperti rumah yang kosong (tidak berpenghuni).”
Jadi orang yang tidak memiliki hafalan Al Quran bagaikan rumah kosong, sepi dari cahaya iman. Hatinya penuh perasaan was-was, ketakutan, cemas dan sedih, terombang-ambing dan tidak dihiraukan orang-orang shalih maupun Malaikat. Perasaannya akan beku, kepekaannya akan pudar, anggota tubuhnya akan berhenti mengamalkan hukum-hukum dan akhlak-akhlak yang ada dalam Al Quran.
Apakah kita suka bila anak kita menjadi rumah yang kosong? Dan apakah kita suka bila pada Hari Kiamat ia akan merangkul leher kita dan mengadukan kita kepada Allah seraya berkata : “ Orangtuaku lah yang membuatku menjadi seperti rumah kosong ”? Tentu saja tidak ! Oleh sebab itu marilah dari sekarang kita ajak diri kita dan keluarga kita untuk bersama-sama mempelajari Al Quran, agar kita bisa menjadi Sahabat Al Quran.
Sumber :
Be a Genius Teacher ( Mendidik dengan Kreatif ) seri 1 karya Abdullah Muhammad Abdul Mu’thi
Cetakan pertama / Juni 2008. Terbitan Pustaka Elba, Surabaya.