Percaya atau tidak, tapi ini
adalah kisah nyata tentang muslimah tahan banting. Bahasanya agak kurang
intelek, tapi biarlah… Semoga tidak mengurangi maksud saya tuk berbagi dan
merenung.
Ia seorang gadis. Berasal dari
negeri di luar pulau Jawa yang padat, negeri yang terpencil. Hidup berdua
bersama ayahanda tercinta, piatu sejak belia. Ia tidak pernah melawan dan
selalu berusaha menyenangkan hati ayahnya. Dan ayahnya sangat mencintai dan
berusaha melindungi putri satu-satunya ini.
Namun, keharmonisan itu berubah
menjadi teror dan kesedihan. Sang anak yang sedang menginjak remaja tergugah
hatinya akan hidayah yang datang dari Rabb-nya, tanpa ragu mengucap kalimah
syahadat dan meninggalkan keyakinan awalnya, Kristen. Sudah tentu ayahnya marah
besar karena ia termasuk Kristen yang taat. Kasih sayang berubah menjadi
amarah. Tak ada lagi belaian hangat, justru tamparan dan cambukan yang
diberikan ketika mendapatinya diam-diam menunaikan shalat atau saat masih
terbata-bata mengeja huruf hijaiyah. Berulang-ulang, setiap hari, ia masih
menjaga konsistensi. Kadang tersirat di hati, akan melarikan diri. Ia tak mau
mati konyol hanya demi menjaga akidahnya yang berusia dini. Namun, ia tak tega
meninggalkan ayah yang rambutnya telah memutih di sana-sini. Ayah yang
membesarkannya seorang diri tanpa dampingan istri.
Maka, ia memutuskan untuk tetap menjaga akidahnya dengan cara apapun dan tetap pula berada di sisi
ayahnya. Meski derita itu kan terus menyakiti raga, ia berusaha membesarkan
sanubari. Mencoba memahami apa yang dirasakan orang yang ia sayangi. Memupuk
sabar seluas bumi sembari bermunajat demi mengetuk nurani ayah yang amat
dicintai. Dengan harapan, semoga suatu saat sang ayah memperoleh hidayah dari
Illahi. Kemudian bersama-sama menjadi penghuni Jannah yang abadi. Ia masih
berharap hingga kini …
Di lain tempat, ada seorang ibu
muslimah. Kekerasan rumah tangga sudah jadi makanan hariannya. Memiliki anak
empat, bersuamikan penjudi, tidak kemudian membuatnya mengeluh apalagi
menganggap Tuhan tidak adil. Memang, banyak yang sudah menasihatinya untuk
bercerai karena kalau dilihat-lihat hidupnya sangatlah tidak memadai. Kasihan
jika anak-anaknya ikut jadi korban kekerasan suaminya.
Namun, lihatlah kebeningan dan
kelembutan hatinya. Ia tetap bersikukuh untuk mendampingi suaminya. Berharap
kesabaran ini akan membuahkan kesadaran suaminya. Setiap malam selalu ada doa
untuk sang suami, meski setiap siang selalu ada tamparan untuknya. Sayang
sekali, pintu hati yang selalu ia ketuk ternyata terkunci sangat kuat dan
tertutup sangat rapat. Sangat sulit baginya mencari celah, justru sang suami
mengajak berpisah. Tidak sampai diceraikan memang, namun diusir dari rumahnya
sendiri cukup membuat gamang. Masihkah ia bertahan ? Wallahu’alam.
Kekerasan, seringkali terjadi
di sekitar kita. Hati yang tak pernah tersentuh ayat-ayat Illahi telah menyihir
pikiran dan perbuatan menjadi ikut keras. Dan akhirnya hanya akan menimbulkan
kerusakan. Padahal jelas-jelas Allah tidak menyukai kerusakan. Di luar sana,
masih banyak muslimah yang berjuang keras melawan kekerasan dengan berbagai
cara. Semoga selalu ada Allah di hati mereka sebagai tujuan hidup. Sehingga
sekeras apapun hidup yang mereka hadapi, mereka tetap muslimah yang tahan banting.