Setiap kejadian kecil pun ada hikmahnya …




Sabtu, 17 Oktober 2009

Siapkan Bekalmu ke kampung Akhirat

 
Adalah benar bahwa nafas adalah kefanaan.
Hidup ini hanyalah untuk menyiapkan bekal sebelum bertemu Sang Pencipta
Anggap saja kehidupan ini ibarat packing untuk mudik ke kampung halaman.
Siapkan segala sesuatunya dengan teliti agar jangan ada yang ketinggalan.
Bedanya,
Kalau ada bekal yang tertinggal ketika mudik, masih bisa diambil atau dibiarkan.
Toh paling ruginya dikit...
Tapi bayangkan saja seandainya bekal kita ke kampung akhirat ada yang ketinggalan,
Sekecil apapun ketertinggalan itu, kita pasti akan merengek-rengek meminta kembali ke dunia untuk mengambilnya.
Tapi sayang, takkan ada lagi kesempatan tuk kembali ke dunia.
Lalu, apa jadinya kita ???


Putra-putri kita bukan anak kecil




Kita sering mengatakan kepada putra-putri kita: ” Kamu masih kecil ”. Kalimat itu membuat mereka merasa bahwa mereka tidak bisa berfikir seperti orang dewasa. Akibatnya, mereka selalu bergantung kepada kita dalam segala hal.

Ketika mereka dewasa, jiwa mereka tetap anak kecil. Mereka enggan menjenguk paman yang sakit atau malu-malu jika diajak berdialog dengan kepala sekolah. Mereka juga tidak mampu menyelesaikan masalah kecil yang menimpanya. Demikianlah kalimat yang sepele tadi mencetak generasi yang berusia dewasa tetapi berfikiran kecil dan bertekad lemah. Dan membuat mereka tidak bisa berfikir, berkreasi dan berinovasi.


Dalam dunia pendidikan, salah satu kewajiban kita adalah berhenti menyebut putra-putri kita sebagai anak kecil. Dan realitanya, mereka bukan anak kecil. Sebab, anak berusia 5 tahun saja bisa menjadi perawi hadits, apalagi sekedar menghafalnya.

Menurut jumhur ulama, usia minimal seorang muslim untuk dapat meriwayatkan hadits Nabi saw adalah 5 tahun. Orang-orang shalih telah mengambil pelajaran ini dengan baik. Mereka mengajak anak-anak mereka yang masih kecil untuk belajar hadits pada guru-guru besar. Al Khatib Al Baghdadi menceritakan bahwa Abu Ashim berkata: ” Aku membawa anakku yang berusia 3 tahun kepada Ibnu Juraij. Lalu ia mengajarinya hadits Nabi saw ”. Abu Ashim berkata: ” Tidak apa-apa mengajarkan hadits dan Al Qur’an kepada anak seusia itu ”. Maksudnya, jika ia paham.


Sesungguhnya, putra-putri yang masih kecil mempunyai potensi akal dan fikiran yang bisa membuat mereka menjadi inovator. Kita harus mengikutsertakan mereka dalam pembicaraan kita yang sesuai dengan mereka. Kita juga harus mau menjawab pertanyaan mereka dengan penuh kejujuran dan obyektif, tanpa meremehkan kemampuan akal mereka. Dan kita juga harus menjadi pendengar yang baik bagi pendapat dan ide mereka.

Terkadang anak kecil menyampaikan pendapat atau pertanyaan yang membuat kita berfikir tentang suatu gagasan inovatif yang tidak terfikir oleh kita sebelumnya. Percaya atau tidak, ide pembuatan biskuit yang digunakan sebagai wadah es krim berasal dari celetukan seorang anak : ” Mengapa orang-orang tidak memakan bungkus es krim agar tidak membuang sampah di jalan ? ”. Kira-kira begitu pertanyaannya. Dan gagasan inovatif yang berasal dari anak kecil kadang mampu memecahkan banyak masalah yang kita hadapi. Sekarang, pertanyaan yang muncul : apa media praktis yang dapat kita gunakan untuk membangkitkan mental anak kita ?


Pertama, hendaknya kita mendorong mereka untuk berani berbicara atau mengemukakan pendapat meskipun ia masih muda, bahkan di depan orang yang lebih tua. Karena itu akan menambah semangat, kepercayaan diri dan kecintaannya terhadap ilmu.


Kedua, bersikap ramah dan mengakui akan haknya yang benar. Karena itu akan mendidiknya menjadi orang yang ramah, memperjuangkan haknya dan menghargai hak orang lain.

Ketiga, mengajak mereka menjenguk orang yang sakit. Karena pada periode fitrah usianya, sangat potensial untuk memancarkan suber kebaikan sehingga mereka terdidik menjadi anak yang suka mengasihi, menyayangi, dermawan, murah hati dan merindukan persahabatan serta kerjasama.

 
Keempat, mengajak mereka ke masjid untuk mengikuti shalat berjamaah atau majlis ilmu meskipun nantinya mereka akan membuat keributan dan melakukan gerakan-gerakan khas anak-anak. Karena hal itu akan membuat mereka merasa senang, aman dan tentram serta mendorongnya untuk mencintai masjid dan majlis ilmu.


Kelima, berinteraksi dan mengucapkan salam kepada mereka. Karena kita sedang mendoakan para pemimpin masa depan.  Selain itu juga kita sedang membuka komunikasi dengan mereka sehingga efektif dalam mengembangkan kepribadian mereka.


Keenam, ikutsertakan mereka dengan kegiatan yang melibatkan para inovator, intelektual, orang beradab dan tentu saja orang-orang shalih. Karena itu akan memotivasi mereka untuk berinovasi dan berkreasi.





Kepada ayah yang budiman, ibu yang penyayang, para pendidik (apapun profesi anda dan berapapun usia anda sekarang), mari kita maksimalkan usia potensial yang sedang dimiliki anak-anak kita sekarang. Bersama kita mencetak Inovator yang Rabbani. Kita jadikan diri kita pendidik yang kaya strategi dengan mempelajari tindakan para cendekiawan. Be a Genius Teacher !!!



Sumber :
Al Mu’thi, Abdullah Muhammad Abdu. 2008. Be a genius teacher ( Mendidik dengan Kreatif ) Edisi Indonesia hal 51-65. Surabaya : Pustaka eLBA.

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET

Teori dari Piaget yang paling penting diketahui para guru matematika adalah bahwa perkembangan kognitif seorang siswa sangat bergantung kepada seberapa jauh si siswa itu dapat memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya.

Menurut Piaget, ada tiga aspek pada perkembangan kognitif seseorang, yaitu: struktur, isi, dan fungsi kognitifnya. Struktur kognitif atau skemata (schema), merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada saat orang itu berinterkasi dengan lingkungannya. Isi kognitif merupakan pola tingkah laku seseorang yang tercermin pada saat ia merespon berbagai masalah, sedangkan fungsi kognitif merupakan cara yang digunakan seseorang untuk memajukan tingkat intelektualnya, yang terdiri atas organisasi dan adaptasi. Dua proses yang termasuk adaptasi adalah asimilasi dan akomodasi. 
  
A.    Empat Tahap Perkembangan Kognitif

            Piaget membagi perkembangan kognitif seseorang dari bayi sampai dewasa atas tahap seperti ditunjukkan tabel berikut.  

No
Umur (Tahun)
Tahap
1.
0 – 2
Sensori Motor
2.
2 – 7
Pra-operasional
3.
7 – 11
Operasional Konkret
4.
11 +
Operasional Formal

Pada tahap sensori motor (0-2 tahun) seorang anak belajar menggunakan dan mengatur kegiatan fisik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Pada tahap ini, pemahaman anak sangat bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh dan alat-alat indera mereka.

Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia belum mampu untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten. Pada tahap ini, anak masih mengalami kesulitan dalam melakukan pembalikan  pemikiran (reversing thought) serta masih mengalami kesulitan bernalar secara induktif maupun deduktif, karena pemikirannya masih dalam tahap transduktif, yaitu suatu proses penarikan kesimpulan dari hal khusus yang satu ke hal khusus yang lain.

Pada tahap operasional konkret (7-11 tahun), seorang anak dapat membuat kesimpulan dari suatu situasi nyata atau dengan menggunakan benda konkret, dan  mampu mempertimbangkan dua aspek dari suatu situasi nyata secara bersama-sama (misalnya, antara bentuk dan ukuran).

Pada tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun), kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Dengan kata lain, mereka sudah mampu melakukan abstraksi, dalam arti mampu menentukan sifat atau atribut khusus sesuatu tanpa menggunakan benda nyata. Pada tahap ini, kemampuan bernalar secara abstrak meningkat, sehingga seseorang mampu untuk berpikir  secara deduktif.

Tahun-tahun yang dicantumkan oleh Piaget di atas memungkinkan dijadikan sebagai rujukan oleh para  guru, walaupun mungkin kondisi para siswa Indonesia agak berbeda dengan siswa yang diteliti Piaget. Sebagai contoh, di suatu daerah siswa berumur 7-12  tahun masih berada pada  tahap operasional konkret. Di samping itu, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa meskipun seseorang yang telah berada pada tahap operasional formal sekalipun, untuk hal-hal yang baru, mereka masih membutuhkan benda nyata ataupun gambar/diagram. Karenanya, faktor ‘nyata’ atau ‘real’ pada proses pembelajaran  ini akan sangat menentukan keberhasilan ataupun kegagalan pembelajaran di kelas.

B.     Proses Perkembangan Kognitif

Proses perkembangan kognitif seseorang menurut Piaget harus melalui suatu proses yang disebut dengan  adaptasi dan organisasi. Tanpa adanya pengalaman baru, struktur kognitif para siswa akan berada dalam keadaan equilibrium (tenang dan stabil).

Jadi, perkembangan kognitif seseorang ditentukan oleh seberapa  besar interaksinya dengan lingkungan (pengalaman  baru) yang harus dikaitkan atau dihubungkan dengan struktur kognitif (schema) mereka, melalui proses organisasi dan adaptasi. Adaptasi sendiri terdiri atas dua proses yang dapat  terjadi bersama-sama, yaitu: (1) asimilasi, suatu proses dimana suatu informasi atau pengalaman baru disesuaikan dengan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa; dan (2) akomodasi, yaitu suatu proses perubahan atau pengembangan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa agar sesuai dengan pengalaman yang baru dialami.

Dengan demikian jelaslah bahwa asimilasi terjadi jika pengalaman baru menyesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah ada di benak siswa; sedangkan pada akomodasi, struktur kognitif yang sudah ada di benak siswa menyesuaikan dengan pengalaman barunya. Sebagai contoh, perkalian dapat diasimilasi sebagai penjumlahan (berulang). Selanjutnya, akan terjadi juga perubahan pada kerangka kognitif si siswa. Kerangka kognitifnya tidak hanya berkait dengan penjumlahan saja, akan tetapi sudah berubah dengan penjumlahan berulang yang dapat disebut juga dengan perkalian.

Terkait dengan istilah pemahaman relasional (relational understanding) yang dikemukakan Skemp, di  mana dijelaskan bahwa pemahaman relasional (atau understanding saja) adalah jika siswa memahami dua hal secara bersama-sama, yaitu apa dan mengapanya. NCTM juga menyatakan prinsip pembelajaran, yaitu para siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang sudah dimilikinya.

Agar hal seperti ini terjadi,maka pada proses pembelajaran di kelas, menurut istilah yang ada pada teori Piaget, para siswa harus difasilitasi sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat  terjadi. Sesuai dengan tuntutan dari teori Piaget, maka asimilasi terjadi jika pengetahuan baru dapat berkait (‘nyambung’) dengan pengetahuan yang sudah ada di benak siswa (struktur kognitif). Selanjutnya dengan adanya proses asimilasi ini, proses akomodasi akan terjadi juga.

C. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif

Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif seseorang dipengaruhi oleh empat hal berikut.

  1. Kematangan (maturation) otak dan sistem syarafnya.
  2. Pengalaman (experience) yang terdiri atas:
  • Pengalaman fisik (physical experience), yaitu interaksi manusia dengan lingkungannya.
  • Pengalaman logiko-matematis (logico-mathematical experience), yaitu kegiatan-kegiatan pikiran yang dilakukan manusia. 
  • Transmisi sosial (social transmission), yaitu interaksi dan kerjasama yang dilakukan oleh manusia dengan orang lain 
  • Penyeimbangan (equilibration), suatu proses, sebagai akibat ditemuinya pengalaman (informasi) baru.


Sumber :
 Shadiq, Fadjar (2008), Paket Fasilitasi Pemberdayaan KKG/ MGMP Matematika ”Psikologi Pembelajaran Matematika di SMA”, Yogyakarta : Depdiknas.