Kita sering
mengatakan kepada putra-putri kita: ” Kamu masih kecil ”. Kalimat itu membuat
mereka merasa bahwa mereka tidak bisa berfikir seperti orang dewasa. Akibatnya,
mereka selalu bergantung kepada kita dalam segala hal.
Ketika mereka dewasa,
jiwa mereka tetap anak kecil. Mereka enggan menjenguk paman yang sakit atau
malu-malu jika diajak berdialog dengan kepala sekolah. Mereka juga tidak mampu
menyelesaikan masalah kecil yang menimpanya. Demikianlah kalimat yang sepele
tadi mencetak generasi yang berusia dewasa tetapi berfikiran kecil dan bertekad
lemah. Dan membuat mereka tidak bisa berfikir, berkreasi dan berinovasi.
Dalam dunia
pendidikan, salah satu kewajiban kita adalah berhenti menyebut putra-putri kita
sebagai anak kecil. Dan realitanya, mereka bukan anak kecil. Sebab, anak
berusia 5 tahun saja bisa menjadi perawi hadits, apalagi sekedar menghafalnya.
Menurut jumhur ulama,
usia minimal seorang muslim untuk dapat meriwayatkan hadits Nabi saw adalah 5
tahun. Orang-orang shalih telah mengambil pelajaran ini dengan baik. Mereka
mengajak anak-anak mereka yang masih kecil untuk belajar hadits pada guru-guru
besar. Al Khatib Al Baghdadi menceritakan bahwa Abu Ashim berkata: ” Aku
membawa anakku yang berusia 3 tahun kepada Ibnu Juraij. Lalu ia mengajarinya
hadits Nabi saw ”. Abu Ashim berkata: ” Tidak apa-apa mengajarkan hadits dan Al
Qur’an kepada anak seusia itu ”. Maksudnya, jika ia paham.
Sesungguhnya,
putra-putri yang masih kecil mempunyai potensi akal dan fikiran yang bisa
membuat mereka menjadi inovator. Kita harus mengikutsertakan mereka dalam
pembicaraan kita yang sesuai dengan mereka. Kita juga harus mau menjawab
pertanyaan mereka dengan penuh kejujuran dan obyektif, tanpa meremehkan
kemampuan akal mereka. Dan kita juga harus menjadi pendengar yang baik bagi
pendapat dan ide mereka.
Terkadang anak kecil
menyampaikan pendapat atau pertanyaan yang membuat kita berfikir tentang suatu
gagasan inovatif yang tidak terfikir oleh kita sebelumnya. Percaya atau tidak,
ide pembuatan biskuit yang digunakan sebagai wadah es krim berasal dari
celetukan seorang anak : ” Mengapa orang-orang tidak memakan bungkus es krim
agar tidak membuang sampah di jalan ? ”. Kira-kira begitu pertanyaannya. Dan
gagasan inovatif yang berasal dari anak kecil kadang mampu memecahkan banyak
masalah yang kita hadapi. Sekarang, pertanyaan yang muncul : apa media praktis
yang dapat kita gunakan untuk membangkitkan mental anak kita ?
Pertama,
hendaknya kita mendorong mereka untuk berani berbicara atau mengemukakan
pendapat meskipun ia masih muda, bahkan di depan orang yang lebih tua. Karena itu
akan menambah semangat, kepercayaan diri dan kecintaannya terhadap ilmu.
Kedua, bersikap
ramah dan mengakui akan haknya yang benar. Karena itu akan mendidiknya menjadi
orang yang ramah, memperjuangkan haknya dan menghargai hak orang lain.
Ketiga, mengajak
mereka menjenguk orang yang sakit. Karena pada periode fitrah usianya, sangat
potensial untuk memancarkan suber kebaikan sehingga mereka terdidik menjadi
anak yang suka mengasihi, menyayangi, dermawan, murah hati dan merindukan
persahabatan serta kerjasama.
Keempat,
mengajak mereka ke masjid untuk mengikuti shalat berjamaah atau majlis ilmu
meskipun nantinya mereka akan membuat keributan dan melakukan gerakan-gerakan
khas anak-anak. Karena hal itu akan membuat mereka merasa senang, aman dan
tentram serta mendorongnya untuk mencintai masjid dan majlis ilmu.
Keenam, ikutsertakan
mereka dengan kegiatan yang melibatkan para inovator, intelektual, orang
beradab dan tentu saja orang-orang shalih. Karena itu akan memotivasi mereka
untuk berinovasi dan berkreasi.
Kepada ayah yang
budiman, ibu yang penyayang, para pendidik (apapun profesi anda dan berapapun
usia anda sekarang), mari kita maksimalkan usia potensial yang sedang dimiliki
anak-anak kita sekarang. Bersama kita mencetak Inovator yang Rabbani. Kita
jadikan diri kita pendidik yang kaya strategi dengan mempelajari tindakan para
cendekiawan. Be a Genius Teacher !!!
Sumber :
Al Mu’thi, Abdullah Muhammad Abdu. 2008. Be a genius teacher ( Mendidik dengan Kreatif ) Edisi Indonesia hal 51-65. Surabaya : Pustaka eLBA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar