Setiap kejadian kecil pun ada hikmahnya …




Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Matematika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Matematika. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 Oktober 2009

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET

Teori dari Piaget yang paling penting diketahui para guru matematika adalah bahwa perkembangan kognitif seorang siswa sangat bergantung kepada seberapa jauh si siswa itu dapat memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya.

Menurut Piaget, ada tiga aspek pada perkembangan kognitif seseorang, yaitu: struktur, isi, dan fungsi kognitifnya. Struktur kognitif atau skemata (schema), merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada saat orang itu berinterkasi dengan lingkungannya. Isi kognitif merupakan pola tingkah laku seseorang yang tercermin pada saat ia merespon berbagai masalah, sedangkan fungsi kognitif merupakan cara yang digunakan seseorang untuk memajukan tingkat intelektualnya, yang terdiri atas organisasi dan adaptasi. Dua proses yang termasuk adaptasi adalah asimilasi dan akomodasi. 
  
A.    Empat Tahap Perkembangan Kognitif

            Piaget membagi perkembangan kognitif seseorang dari bayi sampai dewasa atas tahap seperti ditunjukkan tabel berikut.  

No
Umur (Tahun)
Tahap
1.
0 – 2
Sensori Motor
2.
2 – 7
Pra-operasional
3.
7 – 11
Operasional Konkret
4.
11 +
Operasional Formal

Pada tahap sensori motor (0-2 tahun) seorang anak belajar menggunakan dan mengatur kegiatan fisik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Pada tahap ini, pemahaman anak sangat bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh dan alat-alat indera mereka.

Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia belum mampu untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten. Pada tahap ini, anak masih mengalami kesulitan dalam melakukan pembalikan  pemikiran (reversing thought) serta masih mengalami kesulitan bernalar secara induktif maupun deduktif, karena pemikirannya masih dalam tahap transduktif, yaitu suatu proses penarikan kesimpulan dari hal khusus yang satu ke hal khusus yang lain.

Pada tahap operasional konkret (7-11 tahun), seorang anak dapat membuat kesimpulan dari suatu situasi nyata atau dengan menggunakan benda konkret, dan  mampu mempertimbangkan dua aspek dari suatu situasi nyata secara bersama-sama (misalnya, antara bentuk dan ukuran).

Pada tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun), kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Dengan kata lain, mereka sudah mampu melakukan abstraksi, dalam arti mampu menentukan sifat atau atribut khusus sesuatu tanpa menggunakan benda nyata. Pada tahap ini, kemampuan bernalar secara abstrak meningkat, sehingga seseorang mampu untuk berpikir  secara deduktif.

Tahun-tahun yang dicantumkan oleh Piaget di atas memungkinkan dijadikan sebagai rujukan oleh para  guru, walaupun mungkin kondisi para siswa Indonesia agak berbeda dengan siswa yang diteliti Piaget. Sebagai contoh, di suatu daerah siswa berumur 7-12  tahun masih berada pada  tahap operasional konkret. Di samping itu, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa meskipun seseorang yang telah berada pada tahap operasional formal sekalipun, untuk hal-hal yang baru, mereka masih membutuhkan benda nyata ataupun gambar/diagram. Karenanya, faktor ‘nyata’ atau ‘real’ pada proses pembelajaran  ini akan sangat menentukan keberhasilan ataupun kegagalan pembelajaran di kelas.

B.     Proses Perkembangan Kognitif

Proses perkembangan kognitif seseorang menurut Piaget harus melalui suatu proses yang disebut dengan  adaptasi dan organisasi. Tanpa adanya pengalaman baru, struktur kognitif para siswa akan berada dalam keadaan equilibrium (tenang dan stabil).

Jadi, perkembangan kognitif seseorang ditentukan oleh seberapa  besar interaksinya dengan lingkungan (pengalaman  baru) yang harus dikaitkan atau dihubungkan dengan struktur kognitif (schema) mereka, melalui proses organisasi dan adaptasi. Adaptasi sendiri terdiri atas dua proses yang dapat  terjadi bersama-sama, yaitu: (1) asimilasi, suatu proses dimana suatu informasi atau pengalaman baru disesuaikan dengan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa; dan (2) akomodasi, yaitu suatu proses perubahan atau pengembangan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa agar sesuai dengan pengalaman yang baru dialami.

Dengan demikian jelaslah bahwa asimilasi terjadi jika pengalaman baru menyesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah ada di benak siswa; sedangkan pada akomodasi, struktur kognitif yang sudah ada di benak siswa menyesuaikan dengan pengalaman barunya. Sebagai contoh, perkalian dapat diasimilasi sebagai penjumlahan (berulang). Selanjutnya, akan terjadi juga perubahan pada kerangka kognitif si siswa. Kerangka kognitifnya tidak hanya berkait dengan penjumlahan saja, akan tetapi sudah berubah dengan penjumlahan berulang yang dapat disebut juga dengan perkalian.

Terkait dengan istilah pemahaman relasional (relational understanding) yang dikemukakan Skemp, di  mana dijelaskan bahwa pemahaman relasional (atau understanding saja) adalah jika siswa memahami dua hal secara bersama-sama, yaitu apa dan mengapanya. NCTM juga menyatakan prinsip pembelajaran, yaitu para siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang sudah dimilikinya.

Agar hal seperti ini terjadi,maka pada proses pembelajaran di kelas, menurut istilah yang ada pada teori Piaget, para siswa harus difasilitasi sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat  terjadi. Sesuai dengan tuntutan dari teori Piaget, maka asimilasi terjadi jika pengetahuan baru dapat berkait (‘nyambung’) dengan pengetahuan yang sudah ada di benak siswa (struktur kognitif). Selanjutnya dengan adanya proses asimilasi ini, proses akomodasi akan terjadi juga.

C. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif

Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif seseorang dipengaruhi oleh empat hal berikut.

  1. Kematangan (maturation) otak dan sistem syarafnya.
  2. Pengalaman (experience) yang terdiri atas:
  • Pengalaman fisik (physical experience), yaitu interaksi manusia dengan lingkungannya.
  • Pengalaman logiko-matematis (logico-mathematical experience), yaitu kegiatan-kegiatan pikiran yang dilakukan manusia. 
  • Transmisi sosial (social transmission), yaitu interaksi dan kerjasama yang dilakukan oleh manusia dengan orang lain 
  • Penyeimbangan (equilibration), suatu proses, sebagai akibat ditemuinya pengalaman (informasi) baru.


Sumber :
 Shadiq, Fadjar (2008), Paket Fasilitasi Pemberdayaan KKG/ MGMP Matematika ”Psikologi Pembelajaran Matematika di SMA”, Yogyakarta : Depdiknas.

Selasa, 25 Agustus 2009

TEORI PEMAHAMAN SKEMP

Ada tulisan menarik yang dikemukakan Bell (Teaching and Learning Mathematics:97) berikut ini: “Understanding of theories about how people learn and the ability to apply these theories in teaching mathematics are important prerequisites for effective mathematics teaching.”

Apa yang dikemukakan Bell di atas menunjukkan kepada para guru matematika bahwa pemahaman teori-teori tentang bagaimana para siswa belajar dan bagaimana mengaplikasikan teori tersebut di kelas masing-masing merupakan prasyarat terwujudnya pembelajaran matematika yang efektif. Salah seorang di antara pakar psikologi yang menulis psikologi yang berkait langsung dengan matematika adalah Skemp. Ia membedakan antara pemahaman relasional dan pemahaman instrumental. Teori ini sangat penting bagi para guru matematika.

A. Pemahaman Relasional dan Instrumental

Dimisalkan ada seorang siswa yang dapat menyelesaikan sebuah soal matematika. Apakah siswa tersebut sudah memiliki pemahaman relasional ataukah hanya memiliki pemahaman instrumental?

Skemp menyatakan bahwa pemahaman instrumental sejatinya belum termasuk pada kategori pemahaman, sedangkan pemahaman relasional memang benar sudah termasuk pada kategori pemahaman. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Skemp dalam Mathematics in the Primary School : “ ... yang disebut dengan pemahaman relasional dan pemahaman instrumental. Yang pertama (pemahaman relasional) menurut saya dan mungkin juga menurut pembaca dapat diartikan memahami dua hal secara bersama-sama, yaitu apa dan mengapanya. Pemahaman instrumental sampai saat ini belum dimasukkan pada pemahaman secara keseluruhan. Pada masa-masa lalu hal itu dijelaskan sebagai aturan tanpa alasan”.

Berdasar pada pendapat Skemp di atas, kemampuan siswa dalam menyelesaikan sebuah soal matematika dapat dikategorikan sebagai pemahaman relasional dan dapat juga dikategorikan sebagai pemahaman instrumental dengan alasan berikut :

  1. Dapat dikategorikan sebagai pemahaman relasional jika si siswa di samping ia sudah dapat menentukan hasil namun ia juga harus dapat menjelaskan mengapa hasilnya adalah seperti itu. Contohnya, untuk soal integral tak tentu. Siswa harus dapat menjelaskan bahwa integral tak tentu suatu fungsi f(x)dx adalah menentukan suatu fungsi F(x) yang jika diturunkan hasilnya adalah f(x). Ia harus dapat meyakinkan orang lain dan dirinya sendiri bahwa hasil integral tersebut adalah benar.

  1. Dapat dikategorikan hanya sebagai pemahaman instrumental jika si siswa hanya dapat menentukan hasil namun ia tidak dapat menjelaskan mengapa hasilnya adalah seperti itu. Karenanya, kemampuan yang seperti ini oleh Skemp belum dikategorikan sebagai pemahaman. Sedangkan pemahaman relasional oleh Skemp sudah dikategorikan sebagai pemahaman.
B. Kelebihan dan Kekurangannya

Berkait dengan dua macam pemahaman di atas, pertanyaan yang mungkin dapat diajukan sekarang adalah:
(1) Yang mana yang lebih baik untuk para siswa; pemahaman instrumental ataukah relasional?
(2) Apa kelebihan ataupun kekurangan yang mungkin ada pada pembelajaran yang lebih mengacu pada pemahaman instrumental dan pembelajaran yang lebih mengacu pada pemahaman relasional?

Siswa yang memiliki pemahaman relasional memiliki fondasi atau dasar yang lebih kokoh dalam pemahamannya tersebut. Jikalau siswa lupa dengan rumus, maka ia masih punya peluang menyelesaikan soal dengan cara coba-coba. Sebagai tambahan, siswa dapat mengecek kebenaran hasil yang ia dapatkan dengan membalikkan rumus. Contoh, untuk soal integral dapat dicek hasilnya benar atau salah dengan mendifferensialkan hasilnya.

Bagi siswa yang hanya memiliki pemahaman instrumental, ia hanya bisa menghafalkan rumus dan tidak faham dengan konsep : integral adalah anti differensial. Ketika ia lupa dengan rumus, maka ia tak punya peluang untuk mencoba-coba. Jelaslah bahwa siswa yang memiliki pemahaman relasional akan memiliki keuntungan bagi dirinya.

Berdasar pada penjelasan di atas, selama proses pembelajaran di kelas, para guru matematika diharapkan dapat memfasilitasi siswanya sedemikian sehingga para siswa memiliki pemahaman relasional. Ada dua prinsip untuk matematika sekolah (principles for school mathematics) yaitu: prinsip pengajaran dan prinsip pembelajaran. Prinsip pengajaran menyatakan bahwa pengajaran matematika yang efektif membutuhkan pemahaman terhadap pengetahuan siswa dan membutuhkan proses belajar, dan setelah itu, menantang dan membantunya agar dapat belajar dengan baik. Sedangkan prinsip pembelajaran menyatakan bahwa siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang sudah dimilikinya.


Sumber :
Shadiq, Fadjar (2008), Paket Fasilitasi Pemberdayaan KKG/ MGMP Matematika ”Psikologi Pembelajaran Matematika di SMA”, Yogyakarta : Depdiknas.


Jumat, 07 Agustus 2009

HIRARKI BELAJAR


Mengapa suatu Standar Kompetensi (SK) maupun suatu Kompetensi Dasar (KD) harus diajarkan mendahului SK maupun KD lainnya?
Atas dasar apa penentuan itu?
Apakah hanya didasarkan pada kata hati para guru dan pakar saja?

Gagne memberikan alasan cara mengurutkan materi pembelajaran dengan selalu menanyakan pertanyaan seperti ini: "Pengetahuan apa yang lebih dahulu harus dikuasai siswa agar ia berhasil mempelajari suatu pengetahuan tertentu?" Setelah mendapat jawabannya, ia harus bertanya lagi seperti pertanyaan di atas tadi untuk mendapatkan pengetahuan prasyarat yang harus dikuasai dan dipelajari siswa sebelum ia mempelajari pengetahuan tersebut. Begitu seterusnya sampai didapat urut-urutan pengetahuan dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.

Karena itu, hirarki belajar harus disusun dari atas ke bawah. Dimulai dengan menempatkan kemampuan, pengetahuan, ataupun ketrampilan yang menjadi salah satu tujuan dalam proses pembelajaran di puncak dari hirarki belajar tersebut, diikuti kemampuan, keterampilan, atau pengetahuan prasyarat (prerequisite) yang harus mereka kuasai lebih dahulu agar mereka berhasil mempelajari ketrampilan atau pengetahuan di atasnya itu.

Contoh hirarki belajar yang berkait dengan pemfaktoran adalah sebagai berikut. Tidak mungkin seorang siswa SMP dan SMA dapat memfaktorkan jika ia tidak menguasai penjumlahan dua bilangan bulat. Implikasi selanjutnya, jika menemui siswa yang mengalami kesulitan atau melakukan kesalahan, cobalah untuk berpikir jernih dengan menggunakan teori tentang hirarki belajar ini sebagai salah satu acuannya.

Sekali lagi seorang siswa tidak akan dapat mempelajari atau menyelesaikan tugas tertentu jika mereka tidak memiliki pengetahuan prasyaratnya. Karena itu, untuk memudahkan para siswa selama proses pembelajaran di kelas, proses tersebut harus dimulai dengan memberi kemudahan bagi para siswa dengan mengecek, mengingatkan kembali, dan memperbaiki pengetahuan-pengetahuan prasyaratnya.


Sumber :
Shadiq, Fadjar (2008), Paket Fasilitasi Pemberdayaan KKG/ MGMP Matematika ”Psikologi Pembelajaran Matematika di SMA”, Yogyakarta : Depdiknas.